Aster untuk Gayatri (Irfan Rizky)

Judul : Aster untuk Gayatri

Penulis: Irfan Rizky

Penerbit: Mazaya Publishing House

Editor: Tiara Purnamasari

Desain Sampul: @megapuspitap

Jumlah halaman: 158 hlm.

ISBN: 978-602-6362-35-3

Reviewer: N. Eka P.

Blurb

 

Telah kularungkan

Kepada Gayatri

Tiap-tiap kesedihan

Jua

Perih-pedih

Masa lampau

 

Dan telah kuwariskan

Kepada Giran

Cerita-cerita luka

Tentang rindu

Yang

Dipandanginya lama-lama

 

Pun telah kuhidangkan

Kepada kamu

Seorang

Kisah-kisah tentang

Apa-apa

Yang harusnya

Ada

Dan apa-apa

Yang mestinya

Tiada

Jpeg

 

“Asin garam kehidupan mengajarkan kepadanya agar tak sering-sering melambungkan harapan, agar tak selalu memakai hati, agar selalu percaya pahit di balik setiap yang manis.” (Hlm. 13)

“Agar jatuh cinta sedikit demi sedikit saja, karena siapa yang pernah tahu sakitnya seperti apa jika tergesa-gesa memberi segala?” (Hlm. 13)

“Dan jika kita, kau dan aku, masih abai dan lancang pada kehendak masa lalu, maka hanya akan ada pahit yang membayang, menyambut ujung-ujung pilu yang  menerjang.” (Hlm. 96)

***

Pertama-tama, saya ucapkan selamat untuk penulis, Irfan Rizky, sebab lahirnya novella pertama, “Aster untuk Gayatri”. Perlu diketahui, novella ini memenangkan tempat pertama dalam lomba novella yang digelar oleh Mazaya Publishing House.

“Aster untuk Gayatri”, laiknya kisah cinta pada umumnya, menggetarkan dengan percikan asmara. Tema yang umum, topik yang ramai dibahas—luka, kepedihan, masa lalu, kekecewaan, kesengsem, jatuh cinta, sakit hati, jatuh cinta lagi—namun, bukankah kita selalu menyambut kisah-kisah demikian untuk menghibur diri?

Ya, kali ini, “Aster untuk Gayatri” pun secara umum mengangkat cerita dengan bait-bait esensi di atas. Tetapi, mengapa membacanya begitu nikmat?

Karena, eksekusi penulis dalam membumbui yang akan membedakan dan gaya sastra pada novella ini, membuat saya abai pada jenuh. Sebaliknya, malah bikin tangan gatal untuk membalik halaman tiap halamannya.

Gayatri, dosen wanita, berparas cantik (kata Giran), bertubuh aduhai (menurut Giran) dan menyukai bunga aster (karena dikasih Giran). Sedangkan si pemberi bunga adalah pria pekerja keras yang mencari nafkah dari perpustakaan, mahasiswa dengan kebiasaan berteman losion pinus. Temannya, Rustam “Kampret”.

Giran menyukai Gayatri, itu sudah rahasia umum.

Gayatri membalas rasa itu, meski dari balik tirai jarak.

Masing-masing menabuh genderang kasih namun perlahan.

Gayatri memiliki rahasia, pun Giran.

Gayatri punya kepedihan, Giran pemilik keperihan.

Ketika keduanya mengungkap masa terkelam, siapa yang mau bertahan?

Akankah tetap ada aster untuk Gayatri?

Tetapkah aster dari Giran berpindah dalam pelukan wanita yang dicinta sedemikian lama?

***

Pemilihan kata yang sepertinya diperhitungkan dengan hati-hati dan cermat, membuat saya menikmati paragraf demi paragraf. Minimnya pengulangan kata sudah tentu meminimalisir pembaca dari rasa jenuh dan bosan. Alur yang mengalir meski padat juga tidak membuat saya “kaget” pada setiap pergantian adegan dan ini agak sulit mengingat konsep novella berbeda dengan novel. Konflik harus tetap jelas dan cepat muncul namun tidak tampil tergesa dan mendadak mencungul, sebab bisa saja, yang seperti itu fatal karena dapat membuat pembaca berpikir “kok tahu-tahu begini sih?”

Penulis juga menyelipkan puisi-puisi yang sayang dilewatkan, foto-foto yang mengundang getar hati. Aksesioris yang manis dan cantik, menurut saya.

“Mencintaimu bagai

Membasuh-basah bola-bola mata

Dengan air laut,

Lalu

Kalikan sejuta

pedih-perihnya”

(Hlm. 74)

Penokohan Gayatri dan Giran sudah cukup baik, hanya saja, saya memang agak kesulitan dalam mem-visualisasi-kan penampakan mereka dalam benak. Bagi beberapa pembaca yang setipe dengan saya, ini cukup penting untuk menguatkan kesan dari tokoh yang dimunculkan.

Kelebihannya, diksi yang dipakai begitu apik. Meski bukan penikmat sastra sejati, saya cukup bisa mengikuti buku ini dengan santai tapi tetap gregetan. Bagaimana tidak? Kisah Gayatri dan Giran begitu menggemaskan! Kemunculan latar berikut dengan bahasa daerahnya, informatif dan bila penulis bukan berasal dari provinsi tersebut, maka dia sudah melakukan riset dengan baik. Dan ini menunjukkan penulis tidak malas dalam usaha menyenangkan pembaca.

Tidak sampai di situ. Pesan-pesan dalam bukunya pun mengena meski sampai tersirat. Tentang bagaimana menjaga hati orang yang kita cinta dan pandai membuat keputusan bahkan ketika bersama seseorang yang sedang membuat mabuk kepayang.

Jua, tentang bagaimana kita, menelan kekecewaan, menjaga kepedihan agar tidak sembarang menghakimi. Karena boleh jadi, dia-lah pemegang kepedihan yang berjuta kali lebih perih.

Overall, saya menikmati buku ini dan sepertinya menyenangkan bila ada versi spin-off dari Rustam, misalnya.

Sekali lagi, selamat untuk Irfan Rizky. Teruslah berkembang.

Bila bertemu dengan penulis, apa yang mau saya katakan?

“K.A.M.P.R.E.T”

Becanda. Hehe.

Rate: ★★★★/5

Leave a comment